Pipil lahir pada tahun 1300 di lereng
pegunungan Kawi - Arjuna, daerah yang kini dikenal sebagai kota Malang (Jawa Timur).
Sejak kecil, Pipil sudah menunjukkan kepribadian yang baik, kuat dan tangkas.
Kecerdasannya telah menarik hati seorang patih Majapahit yang kemudian mengangkatnya
menjadi anak didiknya, bahkan di kemudian waktu juga menjodohkannya dengan putrinya
sendiri yang bernama Ni Gusti Ayu Bebed untuk menjadi istri. Beranjak dewasa, Pipil yang
kemudian lebih dikenal dengan nama Gajah Mada terus menanjak karirnya hingga menjadi
Kepala (bekel) Bhayangkara (pasukan khusus pengawal raja).
Pada 1334, Ratu Putri Sri
Tribhuanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani melantik Gajah Mada sebagai Mapatih
Amangkubumi menggantikan Arya Tadah yang pensiun. Dan pada momentum inilah, Sang Mapatih
mengucapkan janji baktinya sambil mengacungkan kerisnya bernama Surya Panuluh yang
sebelumnya adalah milik Dyah Kertarajasa Jayawardhana, Raja Pendiri Kerajaan Majapahit: “Lamun huwus kalah Nusantara ingsun a-mukti pala-pa, lamun kalah Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun a-mukti pala-pa”. (“Setelah tunduk
Nusantara, aku akan beristirahat. Setelah tunduk Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah aku beristirahat”). Ternyata dengan
konsep persatuannya ini, berbuah pada meredanya pertumpahan darah antar kerajaan-kerajaan
tersebut yang semula selalu saling mengintai dan berupaya saling menguasai (berperang
terus silih berganti) sehingga menimbulkan banyak korban terutama terhadap rakyat
masing-masing. Dengan pengayoman Majapahit dan semboyan bhinneka tunggal ika, tan hana
dharma mangrwa, diantara kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bisa menjadi lebih menekankan
perhatiannya kepada upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemajuannya sendiri maupun
bersama-sama. Selain itu juga menjadi lebih kuat menghadapi ancaman penjajah asing
(Tiongkok/Tartar), menggantinya menjadi hubungan kerjasama dagang dan budaya yang saling
menguntungkan masing-masing pihak.
Sang Mapatih
mendapat ujian berat dalam peristiwa Perang Bubat. Sebagai sebuah kerajaan yang sudah
sangat kuat pada saat itu maka Majapahit dapat saja menundukkan Kerajaan Sunda (Pakuan
Pajajaran), namun Sang Mapatih lebih memilih menghindari kekerasan dan pertumpahan darah.
Sejalan dengan itu, Sang Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara (Raden Tetep) yang telah
beranjak dewasa serta menjadi raja Majapahit yang baru juga ingin menjadikan Putri Raja
Sunda (Dyah Pitaloka) sebagai permaisurinya. Maka persatuan antara Majapahit dengan
Kerajaan Sunda diharapkan dapat diwujudkan dengan tali perkawinan tersebut. Pada awalnya,
rencana ini dapat diterima dengan baik oleh pihak Kerajaan Sunda, namun ketika sampai di
daerah Bubat, rombongan Kerajaan Sunda tiba-tiba mengajukan persyaratan agar Sang Raja
Majapahit harus turun sendiri menjemput pengantin dan rombongannya di daerah tersebut.
Sang Mapatih dihadapkan pada dilema, baik menerima maupun menolak persyaratan itu
sama-sama akan membahayakan jalinan persatuan Nusantara yang sudah dengan susah payah
dibangunnya sebelum ini. Sebuah persatuan yang (pada masa itu) dapat dipertahankan diatas
wibawa Sang Penguasa Kerajaan Majapahit. Para raja lain dibawah kekuasaan Majapahit akan
membaca peristiwa tersebut sebagai isyarat melemahnya kerajaan besar tersebut oleh
kepemimpinan Sang Raja yang masih muda itu. Ini berarti akan berkobarnya kembali perang
karena pemberontakan dari kerajaan-kerajaan dibawah Majapahit. Sang Mapatih berupaya
membicarakan masalah tersebut dengan Raja Sunda hingga kemudian dapat diterima dan
disetujui, namun ketika kembali ke kotaraja, didengarnya kembali berita bahwa pihak
Kerajaan Sunda tetap berkeras pada pendiriannya semula, bahkan Patih Anepaken dari
Kerajaan Sunda sudah mempersiapkan pasukan perangnya jika persyaratannya ditolak, hingga
jalan perang pun tak dapat terhindarkan lagi sampai berakhir ketika Raja Sunda terbunuh,
diikuti oleh putrinya yang bunuh diri. Raja Hayam Wuruk yang terlanjur menyukai Sang Putri
menjadi sangat terpukul dan kecewa.
Tak lama kemudian
Sang Mapatih yang berperawakan sedang dan tegap ini (karakter wajah dari temuan patung
yang selama ini banyak diperkirakan sebagai bentuk wajah Gajah Mada, sebenarnya hanya
wajah imajiner pembuatnya, bukan dan tidak menyerupai wajah Gajah Mada yang sesungguhnya)
lalu mengajukan pengunduran diri, menyendiri (laku tapa) bersama istrinya, Ni Bebed hingga
meninggal pada 1364. Dan kejayaan Majapahit pun mulai meredup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar